Babak
Baru Dari Proyek PLTN Muria
Babak
Baru Proyek PLTN Muria
Rencana
pembangunan tapak PLTN di Semenanjung Muria memasuki babak baru. Warga yang
menentang proyek itu semakin resah lantaran pemerintah bergeming.
Penolakan warga Semenanjung Muria serta ”fatwa haram”yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara, Jawa Tengah, terkait rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir itu rupanya hanya bisa menghambat sementara niat pemerintah untuk tetap melanjutkan proyek tersebut. Kini, mereka mulai kembali memikirkan cara membangun proyek raksasa itu.
Semula,warga Semenanjung Muria sempat bernapas lega.Tersembul harapan menggembirakan pada diri mereka setelah beberapa lama pemerintah mengendurkan rencananya membuat terminal listrik itu. Tapi, cerita rupanya berlanjut. Niat pemerintah merealisasi pembangunan tapak PLTN kembali menguat.Alasannya,masyarakat butuh energi listrik yang sudah sangat mendesak. Padahal, apa pun alasannya, warga Semenanjung Muria tetap takut pada radiasi radioaktif yang bisa terjadi jika PLTN dibangun.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah, sementara di sisi lain cadangan energi Indonesia menipis dan kebutuhan listrik meningkat? Pemerintah berpendapat, PLTN harus segera dibangun sebagai pembangkit listrik alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi. Bahkan, kabarnya, pemerintah kini sedang serius mempersiapkan jaringan PLTN Semenanjung Muria melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Rencananya,jaringan akan segera dibangun pada 2016 dan jika tak ada kendala, tapak PLTN bisa beroperasi pada 2025. ”Kalau tidak ada hambatan, proyek PLTN itu bisa selesai pada 2016. Tapi ini masih rencana,” kata Deputi Kepala Batan Adiwardojo. Apalagi, penyediaan energi listrik oleh PT PLN (persero) selaku lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah mengelola masalah kelistrikan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Terlebih kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau menjadi salah satu penyebab tidak meratanya pusat-pusat beban listrik. Begitu pula rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah serta tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik,turut menjadi kendala. Adiwardojo menjelaskan, gas sebagai alternatif utama pengganti BBM tidak bisa diharapkan menjadi unggulan. Sudah banyak kontrak penjualan ke luar negeri yang harus dipenuhi pemerintah.
Sarana distribusi bahan baku seperti pengangkutan batu bara dan penyaluran gas ke pembangkit yang belum tersedia juga memerlukan biaya yang tidak murah. Selain itu, batu bara juga menimbulkan efek rumah kaca. Itu alasan yang mendorong pemerintah membangun PLTN. Adiwardojo juga mengungkapkan, dengan menggunakan energi nuklir untuk memproduksi listrik, subsidi minyak dapat ditekan pemerintah.
”Sehingga nilai penggunaannya bisa lebih tinggi.Karena minyak punya fungsi lain, di antaranya sebagai bahan bakar, pupuk,” terangnya. Sementara itu,Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana menilai, pembangunan PLTN oleh pemerintah merupakan solusi yang tepat guna menghasilkan energi alternatif yang murah, bersih, dan aman.
”Pembangunan PLTN lebih banyak manfaatnya karena akan mengurangi subsidi minyak kepada masyarakat sebesar Rp30 triliun. Kalau dibangun PLTN, dana subsidinya kan bisa dialokasikan untuk kepentingan lain,” ujarnya. Pemerintah, terangnya, harus terus melakukan sosialisasi proyek pembangunan PLTN ini sehingga masyarakat bisa lebih mengerti kelebihan dan kekurangan dari PLTN.
Soal keamanan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sumber daya manusia (SDM) yang mengoperasikan PLTN, ia mengatakan itu wajar saja. ”Di Batan itu banyak peneliti yang berkompeten dan memiliki pengetahuan yang memadai. Soal keamanan, bisa dilihat selama 30 tahun Batan dibangun, tidak terjadi apa-apa kan?
Pemerintah harus terus melakukan sosialisasi atas hal ini dengan baik, asal jangan dipaksakan,” tuturnya. Meski kebutuhan energi nuklir mendesak dalam memenuhi pasokan energi di Indonesia, tetap saja tanah tapak PLTN terus menjadi perdebatan. Warga yang wilayahnya akan dijadikan tapak PLTN dengan keras menentang rencana ini.
Umumnya, penolakan ini karena ketakutan akan efek nuklir jika terjadi kebocoran atau meledak layaknya tragedi Chernobyl di Ukraina. Mereka khawatir,jika pemerintah tidak siap mengelola PLTN,akibatnya akan fatal.Kebocoran sedikit saja, imbasnya bisa merembet ke mana-mana. Mereka tak ingin tanah moyangnya tercemar limbah radioaktif atau dampak yang mengkhawatirkan.
Mereka tak ingin pergi dari kampungnya gara-gara pembangkit yang tak pernah mereka harapkan berdiri di Semenanjung Muria. Kebocoran memang bisa saja terjadi.Bukan hanya diakibatkan oleh keteledoran manusia. Alam juga bisa menjadi penyebab. Bukankah di Indonesia ini rawan terjadi gempa? Jika gempa terjadi, lantas memorakkan PLTN, siapa yang menjamin reaktor nuklir tak akan bocor? Bolehlah dianggap bahwa pengelolaan PLTN aman.
Dari kasus pengelolaan nuklir sebagai pembangkit listrik di 22 negara di dunia, kasus meledaknya reaktor nuklir hanya terjadi di pusat pembangkit nuklir Chernobyl,Ukraina. ”Lebih dari 22 negara di dunia telah relatif aman dalam menggunakan teknologi PLTN sebagai alternatif dalam memasok listrik bagi penduduknya selama puluhan tahun tanpa masalah,” kata Deputi Menteri Negara Ristek Bidang Dinamika Masyarakat Carunia Mulya Firdausy.
Menanggapi itu,Walhi berpendapat nuklir bukan sebagai alternatif bagi persoalan energi dan lingkungan. Dalam situsnya, mereka mengatakan nuklir bukan merupakan sumber daya energi yang murah. Teknologi reaktor dan persediaan uranium yang tidak banyak, juga uranium yang dekat dengan permukaan, akan cepat menyusut seiring dengan peningkatan jumlah listrik tenaga nuklir sehingga semakin membutuhkan biaya yang tinggi.Apalagi, nuklir bukan energi yang tidak bisa habis.
Nuklir tetap akan terkikis layaknya energi dari sumber minyak bumi. Kalau melihat alasan pemerintah dan masyarakat, penolakan pembangunan PLTN dari masyarakat Semenanjung Muria sepertinya akan tetap bergulir mengingat warga di sana sepakat menentang pembangunan itu.
Tapi sebagai tanggung jawab pemerintah yang harus mengalirkan energi listrik di semua daerah Indonesia, sepertinya pemerintah tetap bergeming. Yang pasti, perlu solusi arif. Pemerintah dan masyarakat mesti duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini. (sofian dwi / CR 01)
Sumber : Babak Baru Proyek PLTN Muria
Penolakan warga Semenanjung Muria serta ”fatwa haram”yang dikeluarkan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jepara, Jawa Tengah, terkait rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir itu rupanya hanya bisa menghambat sementara niat pemerintah untuk tetap melanjutkan proyek tersebut. Kini, mereka mulai kembali memikirkan cara membangun proyek raksasa itu.
Semula,warga Semenanjung Muria sempat bernapas lega.Tersembul harapan menggembirakan pada diri mereka setelah beberapa lama pemerintah mengendurkan rencananya membuat terminal listrik itu. Tapi, cerita rupanya berlanjut. Niat pemerintah merealisasi pembangunan tapak PLTN kembali menguat.Alasannya,masyarakat butuh energi listrik yang sudah sangat mendesak. Padahal, apa pun alasannya, warga Semenanjung Muria tetap takut pada radiasi radioaktif yang bisa terjadi jika PLTN dibangun.
Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah, sementara di sisi lain cadangan energi Indonesia menipis dan kebutuhan listrik meningkat? Pemerintah berpendapat, PLTN harus segera dibangun sebagai pembangkit listrik alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi. Bahkan, kabarnya, pemerintah kini sedang serius mempersiapkan jaringan PLTN Semenanjung Muria melalui Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).
Rencananya,jaringan akan segera dibangun pada 2016 dan jika tak ada kendala, tapak PLTN bisa beroperasi pada 2025. ”Kalau tidak ada hambatan, proyek PLTN itu bisa selesai pada 2016. Tapi ini masih rencana,” kata Deputi Kepala Batan Adiwardojo. Apalagi, penyediaan energi listrik oleh PT PLN (persero) selaku lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah mengelola masalah kelistrikan Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.
Terlebih kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau menjadi salah satu penyebab tidak meratanya pusat-pusat beban listrik. Begitu pula rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah serta tingginya biaya marginal pembangunan sistem suplai energi listrik,turut menjadi kendala. Adiwardojo menjelaskan, gas sebagai alternatif utama pengganti BBM tidak bisa diharapkan menjadi unggulan. Sudah banyak kontrak penjualan ke luar negeri yang harus dipenuhi pemerintah.
Sarana distribusi bahan baku seperti pengangkutan batu bara dan penyaluran gas ke pembangkit yang belum tersedia juga memerlukan biaya yang tidak murah. Selain itu, batu bara juga menimbulkan efek rumah kaca. Itu alasan yang mendorong pemerintah membangun PLTN. Adiwardojo juga mengungkapkan, dengan menggunakan energi nuklir untuk memproduksi listrik, subsidi minyak dapat ditekan pemerintah.
”Sehingga nilai penggunaannya bisa lebih tinggi.Karena minyak punya fungsi lain, di antaranya sebagai bahan bakar, pupuk,” terangnya. Sementara itu,Wakil Ketua Komisi VII DPR Sutan Bhatoegana menilai, pembangunan PLTN oleh pemerintah merupakan solusi yang tepat guna menghasilkan energi alternatif yang murah, bersih, dan aman.
”Pembangunan PLTN lebih banyak manfaatnya karena akan mengurangi subsidi minyak kepada masyarakat sebesar Rp30 triliun. Kalau dibangun PLTN, dana subsidinya kan bisa dialokasikan untuk kepentingan lain,” ujarnya. Pemerintah, terangnya, harus terus melakukan sosialisasi proyek pembangunan PLTN ini sehingga masyarakat bisa lebih mengerti kelebihan dan kekurangan dari PLTN.
Soal keamanan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sumber daya manusia (SDM) yang mengoperasikan PLTN, ia mengatakan itu wajar saja. ”Di Batan itu banyak peneliti yang berkompeten dan memiliki pengetahuan yang memadai. Soal keamanan, bisa dilihat selama 30 tahun Batan dibangun, tidak terjadi apa-apa kan?
Pemerintah harus terus melakukan sosialisasi atas hal ini dengan baik, asal jangan dipaksakan,” tuturnya. Meski kebutuhan energi nuklir mendesak dalam memenuhi pasokan energi di Indonesia, tetap saja tanah tapak PLTN terus menjadi perdebatan. Warga yang wilayahnya akan dijadikan tapak PLTN dengan keras menentang rencana ini.
Umumnya, penolakan ini karena ketakutan akan efek nuklir jika terjadi kebocoran atau meledak layaknya tragedi Chernobyl di Ukraina. Mereka khawatir,jika pemerintah tidak siap mengelola PLTN,akibatnya akan fatal.Kebocoran sedikit saja, imbasnya bisa merembet ke mana-mana. Mereka tak ingin tanah moyangnya tercemar limbah radioaktif atau dampak yang mengkhawatirkan.
Mereka tak ingin pergi dari kampungnya gara-gara pembangkit yang tak pernah mereka harapkan berdiri di Semenanjung Muria. Kebocoran memang bisa saja terjadi.Bukan hanya diakibatkan oleh keteledoran manusia. Alam juga bisa menjadi penyebab. Bukankah di Indonesia ini rawan terjadi gempa? Jika gempa terjadi, lantas memorakkan PLTN, siapa yang menjamin reaktor nuklir tak akan bocor? Bolehlah dianggap bahwa pengelolaan PLTN aman.
Dari kasus pengelolaan nuklir sebagai pembangkit listrik di 22 negara di dunia, kasus meledaknya reaktor nuklir hanya terjadi di pusat pembangkit nuklir Chernobyl,Ukraina. ”Lebih dari 22 negara di dunia telah relatif aman dalam menggunakan teknologi PLTN sebagai alternatif dalam memasok listrik bagi penduduknya selama puluhan tahun tanpa masalah,” kata Deputi Menteri Negara Ristek Bidang Dinamika Masyarakat Carunia Mulya Firdausy.
Menanggapi itu,Walhi berpendapat nuklir bukan sebagai alternatif bagi persoalan energi dan lingkungan. Dalam situsnya, mereka mengatakan nuklir bukan merupakan sumber daya energi yang murah. Teknologi reaktor dan persediaan uranium yang tidak banyak, juga uranium yang dekat dengan permukaan, akan cepat menyusut seiring dengan peningkatan jumlah listrik tenaga nuklir sehingga semakin membutuhkan biaya yang tinggi.Apalagi, nuklir bukan energi yang tidak bisa habis.
Nuklir tetap akan terkikis layaknya energi dari sumber minyak bumi. Kalau melihat alasan pemerintah dan masyarakat, penolakan pembangunan PLTN dari masyarakat Semenanjung Muria sepertinya akan tetap bergulir mengingat warga di sana sepakat menentang pembangunan itu.
Tapi sebagai tanggung jawab pemerintah yang harus mengalirkan energi listrik di semua daerah Indonesia, sepertinya pemerintah tetap bergeming. Yang pasti, perlu solusi arif. Pemerintah dan masyarakat mesti duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini. (sofian dwi / CR 01)
Sumber : Babak Baru Proyek PLTN Muria
JAKARTA(SINDO)
http://www.kabarindonesia.com/gbrberita/200904/20090408100602.JPGhttps://griyarsitektur.files.wordpress.com/2010/08/reaktor-nuklir-muria.jpg
http://www.alpensteel.com/article/124-111-energi-nuklir--pltn/3163--babak-baru-dari-proyek-pltn-muria
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/politik-hukum/babak-baru-proyek-pltn-muria-3.html
Komentar : Pembangunan
PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) merupakan pembangkit listrik dengan
penghasil sumber daya terbesar, yang bisa jadi merupakan solusi tepat untuk
krisis kelistrikan di Indonesia. Namun dilain sisi kita semua tahu resiko dan
bahaya yang terjadi jika terjadi kebocoran nuklir tersebut yang terjadi akan
berdampak pada imbas radiasi yang berbahaya bagi lingkungan apalagi penduduk
yang tinggal di daerah sekitar proyek dibangun.
Saran : Sebaiknya
dalam pembangunan PLTN ini kita harus mempertimbangkan secara matang dalam
perencanaan dan pembangunan proyek ini. Kalau memang sangat beresiko dan tidak
mungkin dibangun ada baiknya untuk mencari pembangkit listrik lainnya yang
lebih ramah lingkungan, atau mencari tempat dan lokasi lain yang lebih tepat
untuk pembangunan PLTN ini jika di daerah tersebut rawan gempa. Lain halnya
bila nantinya proyek PLTN ini jadi dibangun pemerintah dan kontraktor yang
membangun harus benar-benar teliti dalam perencanaannya jika terjadi gempa agar
tidak terjadi kebocoran. Dan memberikan jarak dari pltn ke pemukiman jika
terjadi kebocoran yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar