Rabu, 30 Mei 2012

My Novel: Do You be My Edelwise


Sepenggal cerita novel yang masih saya rilis karena enggak kelar-kelar dan gak sempet nyelesain... tapi masih dalam proses penyelesaian... :P


Do You be My Edelwise...

Matahari bersinar terang menghangatkan suasana hari dimana anak-anak sedang bermain dengan gembira. Embun pagi pun seakan bercanda tawa melihat tingkah mereka dalam hingar bingar pagi ini. Taman yang indah dengan pohon-pohon disekitarnya membuat semakin nyaman suasana bermain ditempat ini. Air mancur di tengah taman seperti menyegarkan suasana yang ada disana. Dan beberapa bangku taman yang panjang dan terbuat dari kayu dengan ulirnya yang telah menjadi saksi waktu dari taman itu seakan menyambut setiap orang yang lelah untuk beristirahat di beberapa bagian.  Semua membuat suasana semakin ceria.
Namun nampak seberkas cahaya pagi menyinari seorang anak laki-laki yang duduk menyendiri di sebuah pohon yang seakan menemaninya dan menjaganya selalu... dan selalu menghibur hatinya saat dia tidak diizinkan bermain bersama teman-temannya yang lain karena beranggapan dirinya aneh dan sifatnya yang pendiam, serta tidak mahir dalam berbagai permainan sehingga selalu menyebabkan tim main yang bersamanya pasti selalu kalah, dia selalu dijadikan anak bawang, tapi akhirnya dia dikucilkan karena tidak ada yang mau bermain dengannya.
Hati kecilnya berkata semua seakan tidak adil baginya, yang dia inginkan hanyalah bermain dan bercanda tawa seperti yang lain. Tapi, dia hanya bisa melihat dan memandangi teman-temannya dari kejauhan.. dengan sunyinya pagi di hari ini untuk dirinya namun tidak untuk yang lain. Randi kecil hanya bisa menuangkan semua apa yang dia lihat dan rasakan dalam secarik kertas yang berisi gambar... gambar dari isi hatinya yang merasakan dinginnya dunia tanpa seorang teman.
Semua berlalu bagi dirinya hingga usia 6 tahun, seperti hari-hari yang telah berlalu pohon dan rumput masih setia menemaninya dan berusaha untuk membuat Randi kecil tersenyum disaat dia duduk kesepian tanpa seorang pun bersamanya. Entah tanpa ia sadari sudah banyak gambar buatannya, dari setiap hal yang ia lihat... Sepintal khayal dan sekilas mimpi tergores dalam secarik kertas.
Pada suatu ketika saat dia sedang asyik menggambar Randi kecil tak sadar sedang diperhatikan oleh seseorang. Dia pun menghampiri Randi yang tengah duduk dibawah pohon.
            “Hai”, sebuah kata tulus dengan senyum mengembang keluar dari mulut seorang anak perempuan yang tidak dia kenal yang tiba-tiba datang di hadapannya. Entah mengapa saat dia melihat senyumannya itu ada yang berbeda dari dirinya. Dia tahu kalau anak itu berbeda dari teman-temannya yang lain.
            “Hai juga”, kata Randi sambil mengembangkan senyumnya yang lebar juga membalas senyuman anak perempuan tersebut sehingga membuat anak perempuan tersebut sedikit tertawa karena melihat giginya Randi yang jarang-jarang tersebut..
            “Kamu lagi ngapain?”, tanya anak perempuan itu
            “Aku lagi gambar-gambar aja”, sambil asyik melanjutkan ngegambar.
            “Kok, gak main sama yang lain sih?”
            “Engga ah aku males main sama mereka”
            “Kenapa emang?”
Sejenak Randi terdiam, dan kemudian menjawab pertanyaannya.          
“Aku gak dibolehin ikut main sama mereka”
            “Kok gitu? Emang kenapa?”
            “Engga tau pokoknya engga boleh aja sama mereka, padahal aku mau ikut main”, kata Randi sedih.
            “Yaudah kamu main sama aku aja” pinta anak perempuan itu.
Seakan Randi tidak percaya akhirnya ada yang mau main sama dia. Senyum kecilnya kembali melebar, dan cerah hari seakan menghangatkannya dalam dinginnya pagi saat itu. Tapi karena ada sedikit keraguan Randi kecil bertanya pada anak perempuan tersebut..
            “Kamu mau main sama aku?”
            “Iya, aku mau main sama kamu.. emang kenapa?”
            “Aku kan ceroboh, kalau main juga sering kalah, dan anak-anak yang lain menganggapku aneh” jawab Randi dengan sedih bercampur polosnya.
            “Kalau kalah atau menangkan wajar dalam permainan, jadi engga perlu dipikirin, dan emangnya kamu aneh ya? Aneh apanya? Perasaan engga ada yang aneh deh badan kamu normal-normal aja.. gak ada bedanya sama yang lain..” kata gadis kecil itu meyakinkan Randi.
            “Tapi…”, kata Randi masih ragu.
            “Udah deh ayo kita main aja dulu.. tapi-tapinya entar aja”, kata gadis tersebut sambil menarik tangan Randi. Dan karena Randi ingin sekali bermain ajakan anak tersebut akhirnya dia terima.
            “Oh iya nama kamu siapa?”, tanya anak itu.
            “Nama aku Rllandi. Nama kamu siapa?”, sambil berusaha mengucapkan huruf R yang masih susah dia ucapkan untuk seumurannya. Anak perempuan itu pun jadi tertawa melihat tingkah Randi saat mengucapkan huruf R.
            “Haha, nama aku Arina. kamu kaga bisa ngomong huruf R ya Randi?”,menjawab pertanyaan Randi dan masih tertawa.
            “Iya nih aku masih belajar baca huruf R, Ah.. aku panggil kamu Ina aja ya biar gampang, abisnya nama kamu ada Rllnya sih…”, kata Randi sambil berusaha ngomong R lagi.
            “Hahahah… yaudah ga apa-apa deh… aku juga panggil kamu Andi aja ya boleh engga?”
            “Loh kenapa Ina? Kan kamu bisa ngomong R?”
            “Engga kenap-kenapa sih… biar enak aja manggilnya” jawab Ina sambil tersenyum.
            Melihat senyum Ina lagi, Randipun semakin bersemangat untuk main.
“Yaudah, Ayo kita main Ina”, ajak Andi lagi lebih bersemangat.
“Iya ayo Andi”, keduanya saling melemparkan senyuman.

Sepulang dari bermain Randi menceritakan teman barunya kepada ibunya yang sedang menyiapkan makan siang di dapur. Dengan antusias dan senangnya ibunya mendengarkan, bagaimana Randi bermain tadi, bagaimana dia menikmati harinya yang berbeda. Tapi, ada sekelibas rasa sedih dimata ibunya ketika Randi menceritakan kisah hari-harinya itu..
Sebenarnya ibunya senang karena Randi punya seorang teman baru yang mengerti dia, dan akhirnya dia jadi tidak pemurung dan pendiam lagi hingga berubah menjadi anak yang ceria. Namun ada hal yang harus dia ketahuinya, tapi ibunya menahannya sampai waktunya tiba agar dia tak kecewa jika itu terjadi.

Setelah kejadian itu hari-hari sepi Randi selalu penuh dengan canda tawa, pohon dan rumput yang selalu menemaninya juga ikut merasakan apa yang dirasakan Randi kecil saat ini.  Keceriaan hati dan semangatnya selalu ada di setiap saat karena, ada yang selalu menemaninya. Suka duka dia lewati bersama gadis kecil itu. Ya… Arina selalu ada saat Randi membutuhkan…
Kisah hidup selalu semanis es kirm rasa coklat untuk anak-anak yang masih belum mengenal dunia lebih luas dari pandangan mereka...Termasuk untuk kedua anak ini yang masih berumur muda untuk mengetahui semuanya... suasana dibawah pohon selalu membuat kedua anak ini merasa nyaman akan semuanya... randi yang selalu asik dengan dunianya sendiri, dan juga arina sebagai teman kecilnya yang selalu ada untuknya saat randi sedih... ketika suatau hari Arina menanyakan sesuatu kepada Randi...
            “Kamu suka bunga apa sih?”
            “Ah, aku? Suka bunga apa? Hmm.. aku kan cowo jadi ga suka bunga”
            “Bukan berarti cowo ga boleh suka bunga kan? Ayo apa?
            “ Apa ya... aku suka bunga sepatu kayanya”
            “Kenapa kamu suka bunga sepatu?”
Sambil menggaruk-garuk kepalanya sebentar randi pun menjawab,“namanya juga bunga sepatu pasti bentuknya kaya sepatu, terus kalau sudah tumbuh dan mekar nanti bisa aku pake”
            “Di pake dimana emang? Selipin di kuping?”
            “Ya dipake dikakilah namanya juga bunga sepatu”
            “Ih kamu... kata ibuku itu bunga sepatu engga mirip kaya sepatu”
            “Huuu... sok tahu.. emang kamu udah pernah liat bunga sepatu?”
            “Belum...” sahut ariana pelan
            “Namanya juga bunga sepatukan, pasti jadi sepatu” sanggah randi sok tahu
            “ah tau ah... bingung ngomong sama kamu”, dengan pipinya yang lucu dan tembem arina pun jadi cemberut.
Melihat arina kecil cemberut ngegemesin randi kecilpun membujuk meminta maaf..
            “ya kamu marah ya na? Maaf dong na.. aku kan engga tau... emangnya kalau kamu suka bunga apa sih?”
            Seketika arina pun kembali ceria dan antusias menjawab pertanyaan randi.
            “Aku paling suka bunga Adelwise” jawab arina senang”
            “Emangnya bunga Adelwise tuh bunga apa sih? Apa bagusnya bunga itu?
            “Kata ibuku bunga adelwise itu bukan hanya cantik tapi disebut juga bunga abadi, jadi jika kita memberikan bunga itu pada seseorang maka akan jadi abadi”
            “Apanya yang abadi tuh?” tanya randi lagi bingung
            “Eeeh... iya ya... apa ya... aku juga ga tau, kata ibuku ya gitu”
Entah berapa lama tapi randi sudah mengutak-atik apa yang ada di kepalanya, lalu akhirnya dia menjawab dengan mantap layaknya laki-laki dewasa.
            “Kalau gitu aku mau cari bunga itu”
            “Nyari? Buat apa kamu cari ?”
            “Buat aku kasih ke kamu...biar pertemanan kita abadi” dengan senyum polosnya menjawab.
            “Tapi kalau kamu kasih juga.. aku engga bakal mau terima”
            “Loh kenapa Ina? Kamu engga mau berteman sama andi ya?” dengan sedih bertanya.
            “aku tuh lebih suka melihat adelwise tumbuh di tanah. Kalau dipetik nanti bunganya enggak cantik lagi”
            “Oh, yaudah nanti andi bakal bawa ina ke tempat yang ada banyak adelwisenya” dengan semangat dan tersenyum-senyum berjanji.
            “Janji ya Andi?” sambil mengulurkan kelingkingnya
            “Iya aku janji Ina” segera menyambut kelingking ina dan tersenyum polos.  
Senja menjelang dan matahari mulai beristirahat dari lelahnya hari ini. Sore berganti malam... dan matahari berganti bulan yang menyinari malam itu...
Malam itu di tempat tidurnya harapan dan impian terkumpul.. janji satu kata yang ia harus tepati, dan harus ia wujudkan untuk Arina temannya....

***
            “Randi ayo bangun, mandi terus ganti baju…”, suara lembut dari seorang ibu terdengar membangunkannya yang masih terkantuk dan terlelap dalam mimpinya.
            “Mau kemana sih ma…? Rlandi masih ngantuk nih”
            “Kita mau pindah rumah Randi” jawab ibunya.
Seketika Randi terbangun dan langsung menyerang mamanya dengan seribu pertanyaan dan tolakan karena tak ingin pindah.
            “Loh kok mama ga bilang sih? Kan andi dah seneng disini, punya temen, punya taman dan pohon yang bagus.. ga usah pindah ya mah… ga usah pindah...”
            “Randi maaf kalau mama engga bilang dari kemarin tapi ini mendadak”
            “Ah, mama tar gimana sama Ina temen aku?”
            “Kamu samperin aja terus pamitan sama dia”
            “Yaudah aku mau temuin Ina dulu ma”, dengan segera sudah siap mengambil ancang-ancang lari, tapi ibunya menyuruh dia untuk mandi dulu.. Dengan cepat odol dan sikat gigi dipakainya, tidak karuan hingga mulutnya belepotan.. busa pasta gigi berhamburan dimana-mana.. sabunan juga sekelibas saja ke badannya. Dan akhirnya setelah selesai berpakaian Randi mengambil buku gambarnya lalu segera menuju pintu keluar. Dia melihat ibunya sudah mulai memasukan barang-barang ke mobil.
            “Ma, aku mau ke taman dulu ya... mau pamit sama Ina”, teriak Randi sambil berlari pergi meninggalkan rumahnya.
            “Iya Randi.. jangan lama-lama”, ibunya menyahut.
 Melewati jalanan hari itu Randi ingat pagi dimana dia sering bersepeda disini.. dia ingat kapan dia terpeleset masuk selokan, ketiban pohon berduri, hingga harus dikejar-kejar anjing tetangga, namun ketika dia mendapatkan seorang teman dia tidak ingin kehilangannya.. dia ingin selalu ada bersama Ina…
            Keadaan taman masih sepi, lampu-lampu taman juga masih menyinari bangku kayu yang berwarna coklat tua. Dan cahaya mentari pagi masih malu-malu menyinari sekitar.. embun pagi masih mengerubungi rumput-rumput yang layu dalam dinginnya pagi ini… Randi menunggu di bawah pohon dimana tempat ia biasa bertemu dan bermain dengan Ina..
Sepintas dia melihat bayangan Ina dalam benak pikirannya...
Bagaimana dia membuatnya tersenyum, bagaimana dia membuat hari-harinya menjadi berwarna, bagaimana dia bisa membuat Randi menjadi anak yang begitu spesial dari yang lain...
Waktu berlalu semakin cepat.. matahari yang bermalu di balik awan kini telah mulai berani menampakan cahayanya... lampu-lampu taman satu persatu mulai padam dan orang-orang mulai menampakan kesibukannya masing-masing. Namun Randi masih belum melihat Ina..
            “Randi ayo kita berangkat… ayah sudah menunggu di sana”, suara ibunya tiba-tiba memanggil dari dalam mobil.
Karena bingung Ina tidak lekas datang juga, Randi menaruh buku gambar di bawah pohon tempat biasa dia duduk.. dan berharap Ina dapat menemukannya...
            “Ayo Randi nanti keburu telat kejar pesawatnya” panggil ibunya lagi.
Dengan harapan Ina akan datang dan menemukan buku gambarnya, Randi pergi meninggalkan pohon dan rumput-rumput taman yang selama ini telah menemaninya hingga hari ini. Menjauh dari taman kenangannya bersama Ina...
            “Ina aku pergi dulu ya... maaf jika aku belum bisa nepatin janji aku”
Randi segera bergegas pergi menuju mobil dan meninggalkan taman itu dengan keramaian yang mulai semakin padat.


***
           
Di pagi yang mulai ramai dan taman yang mulai dipenuhi orang-orang yang terlarut dalam kesibukan paginya, seorang anak perempuan datang ke sebuah pohon dan menemukan buku yang terjepit diantara kedua belah akar pohon yang sudah berwarna coklat kekuningan dengan ulir pohon yang nampak menebal. Ya, seorang anak perempuan itu adalah Ina... kali ini bukan lagi Randi yang menunggu... tapi kini Arina yang menunggu... menunggu Randi yang meninggalkannya di saat semua terasa indah baginya.... Dia ingin mengejar Randi tapi dia tak tau kemana harus pergi...
Dia ingin bermain lagi dengan Randi tapi mustahil...
Sebuah perasaan mulai menghinggapi diantara celah hati mereka...
             Kini, Pohon dan rumput-rumput teman Randilah yang akan menemani Ina  saat dia tersepi dari semua. Saat menunggu Randi dan berharap dia kan kembali...




***

“Adelwise adalah bunga yang sangat langka karena hanya tumbuh di tempat tertentu seperti di gunung Mahameru, dan dia memiliki warna yang indah dari bunga yang lain”

Adelwise... Sepertinya kata itu pernah kudengar... 

“Janji ya andi aku akan dibawa ketempat yang banyak bunga Adelwisenya”
“Iyah aku janji ina...”

Dari kata itu seolah akan kupastikan janji itu terwujud...
Bukan menepati janji seperti seorang teman tapi ada yang lain, rasa yang lebih dari seorang teman... 

“Hey ngelamun aja! Nanti ketahuan Bu Aria baru tahu rasa lu” kata Adi mengagetkan Randi yang saat itu juga tersontak kaget dan langsung membuyarkan lamunannya barusan. Tapi karena Bu Aria telah memperhatikan dia dari tadi, dia pun menegur Andi.
            “Lagi mikirin apa kamu Randi Astrawijaya?”
Randi pun kaget bukan kepalang karena Bu Aria menegurnya apa lagi dia tidak mendengar apa yang dijelasin tadi.
            “Kamu tadi dengar apa yang ibu jelaskan?” tanya bu Aria lagi makin membuat Randi bingung.
            “Eh... Emm... tadi saya mikirin apa yang tadi ibu jelasin” jawab Randi asal dan sekenanya.
            “Berarti kamu taukan apa yang ibu jelaskan tadi... kalau gitu ibu mau kamu buat ringkasan tulisan tentang apa yang kamu pikirin tentang penjelasan ibu dan yang buat kamu sampai ngelamun begitu” kata bu aria.
            “Yah bu.. bukan berarti saya ngelamun saya mikirin apa yang tadi ibu jelasin” kata Randi gugup.
            “Berarti kamu ngelamun karna sesuatu bukan karena pelajaran?” tanya bu Aria rada kesal.
“Bukan Bu maksud saya...
“Randi, kamu ibu hukum merangkum buku paket bab 1 samapi bab 3. Sekarang!”, perintah bu Aria yang marah memotong perkataan Randi. Mau tidak mau akhirnya Randi merangkum dan akhirnya dengan susah payah dia bisa menyelesaikan tugasnya pas jam istirahat berbunyi...

“Ah, gile cape banget ngerangkum segitu banyaknya... tangan gua ampe keriting gini!” kata Randi kesalnya sambil menggerak-gerakan pergelangan tangannya yang  pegel-pegel.
“Lu juga sih... ngelamun pas pelajaran Bu Aria, dah tau Bu Aria sesepuh para Guru yang paling galak di sekolah ini” timpal Adi melihat tugas Randi selesai.
“Gua juga engga tau tiba-tiba gua inget sesuatu pas Bu Aria tadi ngejelasin” kata Randi.
“Yaudah deh lain kali jangan sampe ngelamun lagi ndi.. tar disuruh ngerangkum satu buku paket lagi bisa keriting tuh tangan” Sahut Adi.
“Iye-iye engga lagi deh” balas Randi.
“Oh, iya...Yo, anterin gua bayaran sekolah yu”
“Engga ah.. gua mau langsung ke kantin, gua laper banget” jawab Tio sambil memegang perutnya.
“Kalau gitu tunggu gua di kantin aja, tar gua nyusul”
“Sip” kata Tio sambil mengacungkan jempol dan tersenyum unjuk gigi layaknya iklan pasta gigi di tv.
Keadaan Tata Usaha saat itu tidak terlalu ramai hanya satu sampai dua murid saja yang mengantri jadi tidak akan mati kebosanan karena ngantri bayaran, seperti saat Randi bayaran di tanggal 10. Yang biasanya saat dia datang sudah ada 1 baris panjang antrian murid-murid yang ingin bayaran bahkan sampai ke lapangan dan bikin Randi bosan menunggu.
            “Haah... sekali-sekali bayaran tepat waktu enak juga ya, engga nunggu lama” sahut Randi sambil menghela nafas lega.
Sampai akhirnya tiba giliran Randi dan saat dia mau bayaran ada seorang cewe yang langsung nyelak dia bayaran.
            “Eh, ngantri di belakang gua bisa kali”, kata Randi ketus.
            “Sorry, gua buru-buru”, balas cewe itu seadanya.
            “Dih, enak banget lu ngomong.. tau ga yang bikin negara kita ini engga maju-maju? Karena banyak orang yang kaga disiplin, apa lagi Cuma buat budayain disiplin antri” balas Randi kesal dan panjang lebar.
            “Yeee... Malah ceramah, udah ah gua duluan. Cowo ngalah sama cewe” balas cewe itu lebih ketus.
            “Wah, rus.. belum selesai Randi ngomong, tiba-tiba di sekitar terasa ada gempa. Gempa lokal yang pernah dirasain sama Randi dan anehnya gempa ini getarannya terasa semakin dekat... dan semakin dekat... Tiba-tiba terdengar suara teriakan keras seseorang “Awas! Ada badak!! Ada badak!!”. Otomatis karena penasaran Randipun menoleh ke belakang tapi belum sempat dia menoleh serasa ada tumbukan benda atau apapun itu yang menabraknya dirinya sehingga membuatnya terpental dari depan TU bersama cewe yang mau bayaran tadi juga. Layaknya korban tabrak lari, Randipun tersungkur kesakitan. Dengan masih menahan rasa sakit dia berusaha melihat apa yang menabrak dirinya.
            Ternyata itu adalah temannya yaitu Tio yang sedang berlari di ruang koridor, Randi pun langsung teriak kesal memarahinya.
            “Woi, Tio!!! Jangan lari-lari di koridor dong!!”
            “Sorry ran, gua lagi dikejar-kejar sama beruang kutub!” dengan sempatnya membalas panggilan Randi, sambil terus menyerukan “Awas ada badak!” untuk memberitahukan setiap orang yang ada di depannya supaya segera menyingkir dari jalanan.
            Karena bingung dan penasaran apa yang mengejar temannya , Randi segera bangun dan lagi-lagi dia tertabrak sesuatu dan kali ini dia yakin bukan badak lagi yang menabraknya tapi beruang kutub yang diberi tahu Tio tadi. Dengan rasa sakit yang berkali-kali lipat dan jarak pentalannya yang makin jauh lagi, randi berusaha bangun dan melihat siapa yang menabraknya lagi. Dan ternyata ada cewe gendut yang berlari mengejar Tio sambil berteriak “Wooiii...! Gajah Lampung, balikin kue gua!!”
            Dengan rasa engga percaya karena ada dua satwa liar yang lepas dari kebun binatang dan nabrak dia ampe dua kali diapun kembali bangun dan berharap engga ada satwa lain lagi yang bakal nabrak dia untuk ketiga kalinya.
            Tapi malahan bukan satwa kebun binatang yang menyambut dia, kali ini malah pawang satwanya yang datang dan menolong Randi.
            “Eh, ada pawang satwanya!?” kata Randi kaget.
            “Enak aja, gua tadi yang mau bayaran sama lu” jawab cewe itu meringis kesakitan sambil membantu Randi berdiri.
            “Lah, lu kenapa nyengir-nyengir begitu?”
“Siapa yang nyengir-nyengir sih.. gua juga abis ditabrak temen lu! Badannya gede amat sih? Trus temen lu ngapain temen gua ampe dia marah begitu?” tanya cewe itu ke Randi.
“Oh, beruang kutub itu temen lu ya?” balas Randi bertanya.
“Seenaknya aja lu manggil temen gua beruang kutub, namanya itu Geni bukan beruang kutub!” jawab cewe itu kesal.

“Sudah deh kita kejar dulu mereka nanti malah kenapa-kenapa lagi jadinya”, tungkas Randi tidak mau memperpanjang perdebatan.
“Yasudah ayo kita kejar” sahutnya.

Saat Randi dan cewe itu samapai, Tio dan Geni lagi adu badan alias tabrak-tabrakan layaknya mobil bom-bomkart di dufan...
“Ee...ee..eeh... udah woi!!” kata cewe itu sambil Randi memisahkan Tio dan Cewe itu memisahkan Geni.. Tapi tetep aja nih dua penghuni ragunan masih berantem cekcok mulut.
“Gajah lampung gua kempesin lu! Siniin ga kue gua!!” kata Geni marah-marah.
“Weeee. Bedug Masjid Istiqlal.. kuenya dah gua makan, jadi kalau mau diambil.. ambil aja sendiri dalem perut gua..” ledek Tio.
“Sini lu gua belah jadi dua, enak aja tuh kue punya gua!”, balas Geni makin kesal.
            “Woi udah-udah! Masalahnya emang apa sih lu pada berdua kejar=kejaran ampe nabrak gua 2 kali?” tanya Randi penasaran.
“Sebelumnya gua minta maaf kalau gua nabrak lu ampe mental. Jadi gini, gua kan mesen kue coklat kesukaan gua yang tinggal satu-satunya di kantin. Eh si kantung air temen lu ini tau-taunya dateng terus ngembat kue gua dan langsung kabur gitu aja. Ya otomatis gua kesel dan gua kejar dia”, cerita Geni panjang lebar.
            “Weits... gua ga ngembat bleh, itu juga gua mesen dari tadi terus gua juga dah bayar kontan engga nyicil”, tdiak mau kalah Tio menjelaskan.
            “Tapi lu gimana sih yo... itu kan dah dia pesen duluan.. masa lu embat juga sih?”
            “Itu kan kue kesukaan gua, mau engga mau apa pun yang terjadi gua harus dapet walaupun harus berebut sama beruang kutub ini”, Tio menjelaskan.
Disaat mereka sedang mencari solusinya dan siapa yang salah tidak terasa matahari semakin tenggelam dalam bayang senja yang menandakan hari semakin sore.
            “Oke deh, dari pada tambah pusing. Gini aja... kan gua tadi siang juga beli kue itu dan belum gua makan jadi kalau lu mau, kuenya boleh buat lu”.
Sepintas Geni berpikir dan sedikit ragu, tapi karena Geni tau kalau Tio juga suka kue coklat dan keburu diembat lagi sama dia jadinya dengan segera Geni mengiyakan tawaran Randi.
            “Gua ambil dulu deh kalau gitu tunggu bentar ya”,kata Randi.
Ketika mau melangkahkan kaki mengambil kue, sepintas Randi melihat kartu bayaran di tangannya. Dia ingat kalau belum bayar SPP sekolah gara-gara kejadian tadi.. Randi pun melihat cewe itu yang sepintas cewe itu juga melihatnya, dan tau kalau cewe itu juga belum bayaran sekolah.. dengan tatapan mata yang tajam diantara keduanya layaknya seperti rival yang baru saja bertemu, dan tau apa yang harus mereka lakukan... langsung saja mereka berdua lari berlomba ke ruang TU, dengan sekuat tenaga mereka.
***
Dengan kelelahan yang menyeruak membuat badan seperti batrei yang habis tidak lagi bertenaga Randi pun sampai.. Yang ada di ruang TU hanya ada papan yang bertuliskan “TUTUP” dan itu juga mengartikan bahwa artinya Randi harus ngantri bayaran gara-gara ga sempet bayaran hari ini, karena besok sudah jatuh habis tempo bayaran sekolah dan pastiya besok bakalan ada segerombolan masa yang pengen bayaran sekolah. Dan pastinya bikin Randi bakalan bonto alias bosan abis nunggu antrian.

“Yaaah... ampun deh gua mesti bayaran besok...” muka Randi berubah jadi kusut kaya baju belum disetrika.
Tidak lama kemudian cewe itu datang menyusul Randi dengan nafas yang tersengal-sengal ,“Dah tutup ya TUnya?”
            “Yah... nanya lagi, lu liat sendiri kan?... terpaksa gua harus bayaran pas jam istirahat dan ngantri berjam-jam buat bayaran... gara-gara temen lu itu...”
            “Eh, temen lu duluan lagi yang ganggu temen gua.. ngapa jadi lu yang sewot?”
            “Iya...iya...Gua engga debat ah cape... gua mau balik saja kalau gitu”, dengan badannya yang penuh dengan keringat terkena cahaya sore hari Randi kembali ke kelas dan mengambil tasnya yang isinya dah kaya bawa batu kali beratnya 2 kilo, karena pelajaran hari itu bukunya tebel-tebel.
            Seandainya tuh tadi cewe ga muncul engga akan jadi gini ujung-ujungnya Sambil jalan menuju pintu sekolah hatiny masih sibuk menggumam karena kejadian tadi. Keadaan sekolah yang mulai sepi mengingatkan Randi saat pertama masuk sekolah ini.
Temaram lampu yang menyala menghiasi sore yang mulai menggelap...
Dan cat dari dinding-dinding bangunan yang mewakili waktu yang sudah mereka lewati ketika membina murid-murid yang menetap.
Keadaan sekolah makin sepi disaat cahaya sore semakin meredup...
 Walaupun memang bukan sekolah negeri tapi baginya ini sudah cukup, bisa belajar dan mempunyai banyak teman. Dia ingat terkahir kali harus mengejar guru karena saat dia mau daftar sekolah, sudah mau tutup. Hampir saja dia terlambat kalau tidak dia harus mencari sekolah lain yang mungkin fasilitas dan pengajarnnya kurang, apalagi sekolahnya pasti jauh-jauh.
            Sampai di pintu gerbang sekolah senyum ramah penjaga sekolah menghampiri penglihatan Randi sejenak, membuat hatinya sedikit mereda karena kejadian tadi.
            “Baru pulang Di?”, tanya Mas Yoti ramah dengan senyumnya.
            “Iya, mas baru pulang.. tadi mau bayaran tutup”
            “Besok aja kalau gitu bayarannya pagi-pagi biar engga ngantri”
            “Tapi kan TU bukanya pas bel masuk mas. Masa mau bolos jam pelajaran?”
            “Yah, kejar aja Bu Feni kaya waktu itu kamu mau daftar sekolah”
            “Mas masih ingat aja tuh kejadian lama, masa mau negajar ampe kerumahnya Cuma mau bayaran?”
            “Ya iyalah masih inget, orang kamu nanya mulu sama saya tempat daftar dimana sampe-sampe saya ikut ngejar-ngejar guru yang udah pulang buat ngebantuin kamu, ya tapi bolehlah itu dicoba kalau kamu lagi iseng”, dengan senyumnya yang tak pernah lepas dari wajahnya dia tertawa.
            “Haha, iya mas... makasih banget waktu itu, kalau enga ada mas saya dah sekolah ditepat lain yang jauh dari rumah saya”
            “Haha, iya sama-sama... mas mau ngunci-ngunciin kelas dulu ya tar kemaleman”
            “Saya juga pulang dulu ya mas, tar kemaleman.. dan gak kedapetan angkot yang kosong”, sambil berjalan menuju jalan raya. Karena letak sekolahnya tidak terlalu dekat dengan jalan raya tapi harus berjalan sedikit
            “Ran, mau pulang bareng engga? Udah sore loh...” tba-tiba Tio sudah ada disampningnya dengan motor Megapronya yang setia dengannya kemana-mana.
            “Makasih yo... tapi engga deh gua mau naik kendaraan umum aja ada yang mau gua beli soalnya”, sambil menoleh ke arah Tio berada.
            “Bener nih? Tar ada itu-tuh...”, gelagatnya yang bikin kocak pun keluar.
            “Itu apa yo?”, Randi jadi penasaran.
            “ Itu tuh yang suka keluar  pas malem-malem”, tio makin  serius meluhat ke arah Randi.
            “Apaan sih yo? Gua jadi penasaran nih...”, makin menjadi-jadi penasarannya.
            “Itu tuh yang putih-putih, masa lu engga tau”
            “Pocong?”, terkanya dengan terheran-heran melihat sikap seriusnya Tio.
            “Eh-eh itu ada di belakang lu ndi!!!”,  teriak Tio sambil menunjuk ke arah belakang Randi....
           
To be continued...
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar